AKHIRAT LEBIH UTAMA DARIPADA DUNIAWI “KENANGAN DARI MANTAN REKTOR ITS”

Avatar photo
banner 120x600

Jakartabersahabat.com

*SEORANG SARJANA S3,* SUDAH JADI *DOKTOR* ATAU *PROFESOR,* DIA RELA *MENINGGALKAN PEKERJAAN DUNIANYA,* HANYA DEMI *MONDOK* UNTUK *MEMPELAJARI AL-QUR’AN* DAN *MENGHAFALKAN AL-QUR’AN 30 JUZ*

PADAHAL *GAJI NYA BESAR*

DAN *UMURNYA JUGA SUDAH LUMAYAN TUA,* TAPI MASIH *MAU BELAJAR* MENDALAMI *AL-QUR’AN*

BELIAU MEMILIH *UNTUK MONDOK BELAJAR AL-QUR’AN* SEBAGAI *PERSIAPAN MENGHADAP ALLAH* NANTI

*Tulisan Rektor ITS,* Prof Joni Hermana *di wall FB nya*

Coba simak *kutipan inspiratif di bawah ini* yang menggugah…

*Dulu di kala aku kecil*, aku selalu mendapat *peringkat 1* baik di tingkat *SD, SMP,* maupun *SMA…*

*Semua merasa senang*, ibu dan ayah pun *selalu memelukku dengan bangga*. Keluarga sangat senang *melihat anaknya pintar dan berprestasi*.

Aku masuk *perguruan tinggi ternama pun*, tanpa *embel-embel test.*

*Orang tua dan teman-teman lku* merasa *bangga terhadap diriku*.

Tatkala aku kuliah *IPK ku selalu 4 dan lulus dengan predikat cum laude*.

*Semua bahagia*, para Rektor menyalami ku dan *merasa bangga memiliki mahasiswa* seperti diriku, *jangan ditanya tentang orang tuaku,* tentunya mereka *orang yang paling bangga,* bangga *melihat anaknya lulus* dengan predikat *cum laude*. Teman-teman seperjuangan ku pun *gembira*. Semua wajah *memancarkan kebahagiaan*.

*Lulus dari perguruan tinggi* aku bekerja di sebuah perusahaan *Bonafit.* Karirku *sangat melejit dan gajiku sangat besar*.

*Semua pun merasa bangga dengan diriku,* semua rekan bisnisku *selalu menjabat tanganku,* semua hormat dan *mnghargai diriku*, teman-teman lama pun *selalu menyebut namaku* sebagai sslah satu orang *sukses.*

*Namun ada sesuatu* yang *tak pernah kudapatkan* dalam perjalanan hidup ku *selama ini*.
*Hatiku selalu kosong dan risau.* Perasaan sepi *selalu memghantui hari-hariku*.
Ya.. *aku terlalu mengejar duniaku dan mengabaikan akhiratku…*
*Aku sedih………..*

*Ketika aku berikrar* untuk berjuang bersama *barisan Pembela Rasulullah SAW. dan kubuang segala title keduniaanku* kutinggalkan duniaku *untuk mengejar akhirat dan ridha-Nya.*
Seketika itu pula *dunia terasa berbalik.*
*Yaa…Dunia seperti berbalik.* Ku putuskan *untuk merantau dan memilih mempelajari ilmu Al-Qur’an dan hadist dan kuhafalkan Al-Qur’an 30 juz*.

*Semua orang mencemooh dan memaki diriku*.
*Tak ada lagi pujian,* senyum kebanggaan, *peluk hangat dll.* Yang ada hanyalah *cacian…*

Terkadang orang memaki diriku, *buat apa sekolah tinggi-tinggi* kalau akhirnya *masuk pesantren* dia itu *orang bodoh…*
Udah *punya pekerjaan enak* ditinggalin…

*Berbagai caci dan maki tertuju pada diriku,* bahkan dari keluarga *yangg tak jarang membuat diriku sedih…*

“Apa ada *lulusan perguruan tinggi terkenal* masuk *pondok tahfidz…?* Ga sayang apa *udah dapst kerja enak*, mau makan apa dan *dari mana lagi…?*
Kata mereka…

Ya…, *pertanyaan-pertanyaan itu terus menyerang dan menyudutkan diriku.*

*Hingga suatu ketika*

Ketika fajar mulai menyingsing *ku ajak ibu untuk shalat berjamaah di masjid*, masjid tempat *dimana aku biasa menjadi imam.*

*Ini adalah shalat shubuh yang akan selalu ku kenang*.

*Ku angkat tangan* seraya mengucapkan takbir. *Allaaahuu akbaar…*_
*ku agungkan Allah* dengan seagung-agungnya.

*Ku baca doa iftitah* dalam hati ku, *berdesir hati ini rasanya…*

Kulanjutkan membaca…

*Al-Fatihah*
*Bismillahirrahmaanirrahiiim*, (sampai disini hati ku bergetar), ku sebut *nama-Nya yang maha pengasih* dan maha penyayang…

*Alhamdulillahirabbil alamiin*…
Ku panjatkan *puji-pujian untuk Rabb semesta alam..*

Kulanjutkan bacaan lamat-lamat, *ku hayati surah Al-Fatihah* dengan seindah-indahnya taddabur, *tanpa terasa air mata jatuh* membasahi wajahku…

*Berat lidah ku* untuk melanjutkan ayat, *Arrahmaanirrahiim*,
ku lanjutkan ayat *dengan nada yang mulai bergetar….*

*Malikiyaumiddin*, kali ini *aku sudah tak kuasa* menahan tangisku.

*Iyyaka na’budu wa iyyaka nastaiin*, “yaa Allah *hanya kepada-Mu lah* kami menyembah dan *hanya kepada-Mu lah* kami meminta pertolongan.”

*Hati ku terasa tercabik²,* sering kali diri ini *menuntut kepada Allah untuk memenuhi kebutuhanku,* tapi aku *lalai melaksanakan kewajibanku* kepada-Mu…

Sampai lah aku *pada akhir ayat* dalam surah Al-Fatihah. *Ku seka air mata dan ku tenangkan sejenak diriku.*

Selanjutnya aku putuskan untuk membaca *Surah _Abasa_. Ku hanyut dalam bacaan ku,* terasa syahdu, *hingga terdengar isak tangis jamaah* sesekali. *Bacaan terus mengalun,* hingga sampai lah *pada ayat 34.* Tangisku memecah *sejadi-jadinya*.

*Yauma yafirrul mar’u min akhii, wa ummihii wa abiih, wa shaahibatihi wa baniih, likullimriim minhum yauma idzin sya’nuy yughniih…*

*Tangisku pun memecah,* tak mampu *ku lanjutkan ayat tersebut,* tubuhku terasa lemas…

*Setelah shalat shubuh selesai,* dalam perjalanan pulang, *ibu bertanya*: “mengapa kamu menangis *saat membaca ayat tadi,* apa artinya…?”

*Aku hentikan langkahku dan aku jelaskan pada ibu*. Kutatap wajahnya *dalam-dalam dan aku berkata*:

*Wahai ibu…*
Ayat itu *mnjelaskan tentang huru hara padang mahsyar* saat kiamat nanti, *semua akan lari meninggalkan saudaranya…*

*Ibunya…*
Bapaknya…
*Istri dan anak-anaknya..*

*Semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing.*

*Bila kita kaya* orang akan memuji *dengan sebutan* orang yang *berjaya…*,

*Namun ketika kiamat terjadi* apalah gunanya *segala puji-pujian manusia itu…*

*Semua akan meninggalkan kita*. Bahkan ibupun *akan meninggalkan aku…*

*Ibu pun meneteskan air mata*, ku seka *air matanya…*

Ku lanjutkan, *Aku pun takut bu* bila di Mahsyar *bekal yang ku bawa sedikit..*

*Pujian orang* yang ramai selama bertahun-tahun pun *kini tak berguna lagi…*

Lalu *kenapa orang beramai-ramai menginginkan pujian dan takut mendapat celaan.* Apakah mereka tak menghiraukan *kehidupan akhiratnya kelak…?*

*Ibu kembali memelukku dan tersenyum.*
Ibu mengatakan, *betapa bahagianya* punya anak *seperti dirimu…*

*Baru kali ini aku merasa bahagia*, karena *ibuku bangga terhadap diriku…*

*Berbagai pencapaian* yang aku dapat dulu, *walaupun ibu sama memeluk ku* namun *baru kali ini* pelukan itu *sangat membekas dalam jiwaku.*

Wahai manusia *sebenarnya apa yang kalian kejar..?*

Dan *apa pula yang mngejar kalian..?*

*Bukankah maut* semakin hari *semakin mendekat…?*

*Dunia yang menipu* jangan sampai *menipu* dan membuat diri *lupa pada negeri akhirat kelak…*

Wahai saudara-saudaraku, *apakah kalian sadar nafas kalian* hanya *beberapa saat lagi…?*

*Sebelum lubang kubur* kalian akan *digali..*

*Apa yang aku dan kalian banggakan* di hadapan *Allah dan Rasul-Nya kelak…?*

*Wallahu a’lam…*

 

Sumber : *Prof Dr Joni Hermana* adalah *alumni ITB* ( TL’80 )

Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *