Yayat Supriatna : Pentingnya Transparansi Terkait Izin Izin Kehutanan Yang Dikeluarkan Pada Periode Pemerintahan Sebelumnya

Avatar photo
banner 120x600

 

Jakarta, jakartabersahabat.com :

Pengamat Lingkungan Hidup, Yayat Supriatna, memandang polemik banjir di Sumatera tidak boleh hanya dimaknai sebagai kegagalan kementerian kehutanan yang sedang menjabat saat ini. Rabu, 10 Desember 2025.

Ia menegaskan bahwa kerusakan hutan yang menjadi pemicu utama banjir telah berlangsung jauh lebih lama dan melekat pada jejak panjang kebijakan pascareformasi yang membuka ruang bagi penguasaan lahan secara besar-besaran. Penyelesaian masalah tidak bisa dicapai tanpa menelusuri akar waktu yang memicu deforestasi tersebut.

“Pertama, kita harus melihat data time series-nya itu berapa tahun. Sepuluh tahun atau berapa tahun sejak terjadinya penebangan hutan dan izin-izin kehutanan besar-besaran itu dikeluarkan,” ujarnya kepada wartawan.

Ia kemudian menguraikan bahwa titik kritis masalah deforestasi sebenarnya muncul pada masa transisi politik nasional di awal reformasi ketika aturan dan tata kelola kehutanan belum tertata dengan baik. Menurutnya, fase itu menjadi pintu masuk terbesar bagi pelemahan kontrol negara atas kawasan hutan.

“Kalau kita melihat awalnya, itu terjadi di awal reformasi. Pada saat itulah terjadi eskalasi penguasaan lahan di tengah lemahnya regulasi,” kata Yayat.

Dalam penjelasannya, Yayat juga menggambarkan persoalan serupa tidak hanya terjadi di satu wilayah tetapi merata di berbagai daerah, termasuk Sumatera Utara. Ia menyebutkan bahwa kurun waktu hampir seperempat abad telah berlalu tanpa adanya koreksi signifikan terhadap kebijakan masa lalu.

“Jadi sebenarnya di wilayah Sumatera Utara—dan di tempat lain juga sama—semuanya dimulai ketika awal reformasi, saat aturan-aturan belum terstruktur dari masa Orde Baru menuju masa sekarang.

Kalau kita hitung sejak reformasi, berarti hampir 24 tahun, sejak 1998. Ya kira-kira dari awal 200-an sampai 20 tahun terakhir,” tuturnya.

Yayat menilai bahwa pelemahan regulasi selama masa transisi itu membuka ruang bagi aktor-aktor besar melakukan ekspansi dan penjarahan kawasan hutan. Ia menegaskan pentingnya mengidentifikasi siapa saja pihak yang berperan dalam perubahan besar tata guna lahan pada periode tersebut.

“Sejak kapan pelemahan-pelemahan itu terjadi? Termasuk pelepasan status kawasan yang menyebabkan alih fungsi, penjarahan, dan penguasaan. Sekarang pertanyaannya: siapa aktor-aktor besarnya dulu? Itu harus dipetakan,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan praktik penebangan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan melibatkan jaringan pelaksana yang beroperasi di lapangan.

Hal itu membuat pemetaan legalitas menjadi krusial agar publik memahami perbedaan antara aktivitas yang diizinkan dan yang melanggar hukum.

“Kalau ada penebangan, perusahaan itu kan tidak mungkin menebang sendiri. Biasanya mereka menyuruh orang atau masyarakat yang dimodali. Tapi pertanyaannya, mana yang legal dan mana yang ilegal? Itu harus dipetakan juga,” katanya.

Menurut Yayat, langkah fundamental yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah memetakan kondisi aktual kawasan hutan secara detail, termasuk alih fungsi besar-besaran yang selama ini terjadi.

Ia menilai tanpa pemetaan tersebut, penyebab banjir hanya akan dibahas di permukaan tanpa menyentuh masalah strukturalnya.

“Satu-satunya cara adalah memetakan tingkat kerusakan kawasan hutan—mana yang legal dan mana yang ilegal. Kalau itu saja belum mampu dilakukan, persoalannya akan kembali ke akar,” ucapnya.

Ia juga menyebut alih fungsi menjadi perkebunan sawit maupun industri pulp sebagai contoh yang wajib dibuka secara transparan.

Selain itu, Yayat mengingatkan bahwa persoalan serupa terjadi di sektor pertambangan, sehingga pemetaan legalitas juga harus mencakup aktivitas mineral dan batu bara. Ia menilai ketegasan otoritas menjadi penting agar publik memahami batas kewenangan masing-masing institusi.

“Selain hutan, pertambangan juga begitu. Berapa banyak tambang yang legal dan ilegal?” tutur Yayat.

Menurutnya, Menteri Kehutanan harus menjelaskan area mana saja yang berada di bawah tanggung jawab langsung kementerian dan mana yang menjadi kewenangan lembaga atau pihak lainnya. Ketegasan ini diperlukan untuk mencegah saling lempar tanggung jawab antarinstansi.

“Dia harus menyebutkan mana tanggung jawabnya dalam kawasan hutan. Di luar kawasan hutan, itu bukan kewenangannya. Lalu siapa yang bertanggung jawab di luar kawasan hutan? Itu harus jelas,” tegasnya.

Yayat kemudian menyoroti pentingnya transparansi terkait izin-izin kehutanan yang dikeluarkan pada berbagai periode pemerintahan sebelumnya.

Reporter : Irma

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *